Alat Musik Bende, Photo : Yudi Wahyu Widiana
Ajéng adalah suatu perangkat gamelan yang terdapat di Jawa Barat, yang kelengkapan instrumentasinya (jumlah waditra) hampir sama dengan satu perangkat gamelan pelog. Ada dua jenis ajéng yang amat berbeda gayanya, pertama yang terdapat di daerah Sumedang, dan kedua terdapat di wilayah Karawang dan Bogor (khususnya di Kecamatan Cileungsi).
Tidak ada dokumen yang menunjukkan kapan gamelan ajéng lahir, tapi dari karakternya yang mengutamakan waditra gong-berangkai (gong chimes) yang merupakan ciri ensambel musik di Asia Tenggara, ensambel ini merupakan jenis gamelan yang amat tua. Jaap Kunst, etnomusikolog Belanda yang mengadakan penelitian gamelan pada tahun 1920-an, melaporkan tentang ajéng yang ada di kampung-kampung di dataran tinggi timur Sunda, seperti di daerah Sumedang. Keduanya kini termasuk jenis musik yang makin kurang mendapat ruang dalam dunia seni pertunjukan di Jawa Barat. Berkurangnya pertunjukan ajéng itu, pertama adalah karena kurangnya apresiasi atau perhatian masyarakat, sehingga tidak beminat menanggap. Kedua, akibat dari pertama, karena makin sedikit, kalau bukan tidak ada lagi yang menanggap seniman yang memahami lagu-lagu ajéng itu pun makin tiada.
Perbedaan dari kedua gaya ajéng itu, di Sumedang (wilayah pegunungan) instrumentasinya lebih mendekati ensembel gamelan réncéng, sedangkan yang di Karawang dan Bogor (wilayah pantai) lebih mendekati ensambel gamelan saléndro atau pélog. Selain itu, jika ajéng Sumedang tidak memakai alat melodis (walau kadang-kadang ada yang memakai suling), ajéng Karawang dan Cileungsi memakai tarompet¸ yang biasa digunakan dalam ensambel gendang penca.
Ajéng Sumedang digunakan hampir khusus untuk penyambutan tamu, seperti halnya gamelan gamelan rénténg atau degung (dahulu). Melodi utamanya dibawakan oleh bonang, tidak memakai vokal (penyanyi, sinden), melulu instrumentalis. Penempatan gamelannya di atas panggung yang dibuat tinggi sekali, sekitar 2-3 meter, dan sering dibangun di mulut kampung, walau jauh dari yang punya hajat. Penonton (tamu undangan) yang lewat, tidak bisa melihat senimannya, hanya suaranya.
Ajéng Karawang (dan Cileungsi) juga memiliki persamaan dengan di Sumedang, dalam hal bahwa ensambel ini dasarnya adalah instrumental, dan dimainkan di panggung tinggi untuk bisa terdengar lebih jauh, sebagai kabar tentang adanya selamatan. Persamaan dari sisi konteksnya, baik ajéng Sumedang maupun Karawang sekarang merupakan jenis kesenian langka yang mendekati kepunahan jika tidak ada upaya pelestarian strategis.
Gamelan ajeng juga terdapat di daerah Betawi, jenis musik ini diperkirakan berasal dari daerah Pasundan, tetapi dalam perkembangannya mengalami perubahan-perubahan yang membedakan dengan Gamelan Ajeng Sunda. Perbedaan ini antara lain terletak pada repertoar, lagu pada Gamelan Ajeng Sunda tidak terdapat dalam Gamelan Ajeng Betawi. Di samping pengaruh Sunda, Gamelan Ajeng juga mendapat pengaruh Bali.
Alat musik Gamelan Ajeng terdiri dari sebuah kromong sepuluh pencon, sebuah terompet, gendang (dua gendang besar dan dua kulanter), dua buah saron, sebuah bende, sebuah cemes, sebuah kecrek, dan kadang-kadang ada yang menggunakan dua buah gong; gong laki-laki dan perempuan. Dewasa ini berkembang di daerah pinggiran Kota Jakarta dan sekitarnya dan masyarakat pendukungnya adalah kelompok masyarakat petani.
Konon, gamelan ini dianggap sakral karena hanya dimainkan pada saat acara pernikahan. Gamelan Ajeng dilambangkan dengan dua gong besar yang disebut gong lanang dan gong wadon, memiliki kekhususan hanya dapat ditabuh pada tempat tertentu, yaitu pajengan (sebuah panggung setinggi dua meter)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar